Hak Imunitas Pejabat Negara sebagai Penumpang Gelap Covid-19

Hak Imunitas Pejabat

Modernis.co, Malang – Dalam konidisi dunia yang sedang berhadapan dengan wabah pandemi Covid-19 tidak terkecuali indonesia. Peningkatan dengan rata-rata +-300 perhari, upaya pencegahan yang telah dilakukan saat ini terbilang masih kurang efektif baik dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karna masih kurang tegas dalam memberikan sanksi pada pelanggarnya.

Sebagian besar kalangan menilai lambatnya antisipasi atau pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah tidak terelpas dari pemenuhan tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan dasar ketika diadakan karantina sebagaimana Undang-undang No.6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan.

Sehingga  pemerintah kemudian mengeluarkan suatu payung hukum untuk memberikan legitimasi kekuasaan pelaksanaan pencegahan dan rehabilitasi masyarakat terhadap pandemi Covid-19. Perppu (peraturan penganti undang-undang ) No 1 Tahun 2020 Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) telah dikeluarkan oleh pemerintah.

Disahkannya Perppu tersebut menimbulkan polemik baru bagi masyarakat Indonesia, tidak terkecuali menjadi sorotan beberapa kalangan akademisi dan sebagian kalangan menilai bahwa tidak tepat jika saat ini dikatakan keadaan darurat untuk membuat suatu undang-undang. Karna senyatanya DPR sebagai fungsi legislasi masih bersidang (Pembahasan RUU OMNIBUSLAW CIPTA KERJA) ditengah wabah pandemi ini.

Secara substansi ada beberapa pemangkasan kewenangan legislatif dan yudikatif. Selain hat tersebut, terdapat  kontraduktif kefokusan pemerintah dalam penangannya. Karna secara konsideran diadakannya Perppu ini untuk  penyelamatan kemanusian.

Bukan sebaliknya menyikapi  persoalan krisis ekonomi, padahal konstitusi tertinggi sebagai perwujudan rakyat telah menyeruh untuk   melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga persoalan ekonomi akan menjadi baik ketika manusia terselamtakan dan sebaliknya  kepunahan manusia tidak akan mendirikan ekonomi.

Dengan situasi ini ada banyak pertanyaan yang membuat masyrakat mengira-ngira, mengapa pemerintah dalam Perppu ini memberikan kekebalan hukum bagi pejabat penyelenggara, bukankan itikad baik penyelenggara akan menyelamtkan dirinya dari persoalan korupsi tanpa termuat secara substansi.

Cita-cita terbaik  masyarakat dalam bernegara adalah terpenuhinya kesejahteraan, keamanan (ia securite) dan keteritban (I orde) sebagaimana menjadi tujuan negara Ibnu  kaldun (Haidar Bammate,1947), dan negara juga bertujuan untuk memiliki wilayahnya yang akan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat sehingga mereka dapat hidup tentram dan bahagia  (Montesquieu,L’Esprit desLois).

Indonesia sebagai negara hukum yang merupakan klasifikasi negara modrn dengan sandaran demokratis berdasarkan Hukum bertujuan mewujudakn keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta  jaminan atas HAM, pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan Pembagian Kekuasaan guna adanya pemabatasan wewenang.

Pada prinsipnya demokrasi adalah sistem pemerintahan yang baik jika dilaksanakan oleh golongan rakyat murni, tetapi nilai demokrasi hanya menjadi buah bibir semata jika kekuasaan tersebut dipimpin oleh golongan hartawan maka akan menjadi pemerintahan yang oligarki dan akan bersifat sewenang-wenang.

  • Pembentukan PERPPU

Dalam Pasal 22 (1) UUD 1945 disebutkan “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, menyebut ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPPU yaitu:

  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Pada saat kondisi darurat atau dalam keadaan bahaya tatap mengindahkan beberapa asas Hukum keadaan darurat Diantaranya : (1) Proporsionalitas; standar kewajaran (standard of reasonableness) atau tidak boleh melebihi kewajaran atau kesetimpalan dengan keadaan yang dibutuhkan. (2) Prinsip Intangibility;  tidak boleh mengurangi  hak-hak dasar manusia yang bersifat khusus yang harus dilindungi dalam keadaan apapun.

(3) Azas Pengawasan;Penangguhan, pembatasan dan pengurangan  hak asasi manusia dalam keadaan darurat  harus tetap dalam kerangka prinsip demokrasi dan negara hukum. Oleh karena itu pelaksanaannya harus tunduk pada kontrol lembaga pengawas. Jadi, Ekekutif tidak dibiarkan menjadi pemain tunggal dalam mengambil kebijakan dan langkah yang diperlukan.

Sehingga Saya menyebut Perpu ini begitu sangat “berkuasa: hingga “Kekuasaan Kehakiman yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” (Pasal 24 (1) UUD).

Dan tidak lah dapat dibenarkan, dengan kondisi pencegahan wabah pandemic covid 19 yang terus dilakukan, di lain sisi pejabat negara meningkatkan kekuatan politiknya dengan pemberian hak imunitas dalam pasal 27 Dalam Ketentuan Penutup Pasal 27 Perpu No. 1/2020 memberikan kekebalan hukum dan membatalkan fungsi dan kewenangan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD.

Lembaga Negara Inti seperti DPR, BPK dan badan Kekuasaan Kehakiman tidak dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya dengan Perppu ini. Dan hal tesebut juga bertentangan dengan asas keadaan darurat karena Pemberian imunitas hukum pada pejabat dalam keadaan dalam darurat sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Perppu ini bertentangan dengan prinsip demokrasi dan negara hukum yang diatur oleh UUD 1945 (Pasal 1 ayat (2) dan (3) dengan prinsip konstitutionalisme yang dianut oleh UUD 1945 yang artinya tidak boleh kekuasaan yang di atas UUD 1945 (limited government).

Seperti dikemukakan oleh Lord Acton : “Power tends to corrupt,and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung untuk menjadi sewenang-wenang, dan dalam kekuasaan yang bersifat mutlak, kesewenang-wenangannya juga cenderung mutlak .oleh karena itu kekuasaaan selalu harus dibatasi dengan cara checks and balance  dalam kedudukan sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain.

Sejak jaman nabi sampai kini, tak ada manusia yang bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Bahkan pertama-tama mereka yang membuang diri, seorang diri di tengah-tengah hutan atau samudera masih membawa padanya sisa-sisa kekuasaan sesamanya. Dan selama ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik. (Pramoedya Ananta Toer)

*Oleh : Ahmad Agus Muin.SH (Aktifis IMM dan Divisi Advokasi LBH Neratja Justitia)

editor
editor

salam hangat

Leave a Comment